Selasa, 18 Januari 2011

Biarlah Rahasia yang Berbicara

BISMILLAIRAHMANIRRAHIIM........^^
Kesederhanaannya menyihir mental menjadi baja. Bergejolak tanpa lelah berlandaskan semangat yang susah diruntuhkan. Menjadi manusia pilihan yang dilahirkan dalam keadaan tak berbapak. Hadir di dunia untuk menjadi pemimpin dan murobi yang sampai sekarang kami puji-puji sebagai murobi terbaik yang pernah ada di muka Bumi. Penciptaannya yang sempurna dari rahim Bunda Aminah diawali dengan kejadian yang mempunyai daya menggetarkan jiwa, siapa pun yang terlibat di dalamnya . Peristiwa Pasukan Abrahah bersama gajah-gajah sebagai jundi menuju Mekah. Dihadang burung kiriman Allah sebagai penyelamat negeri paling aman dengan tanah terbakar sebagai senjata, hingga mampu melumpuhkan kekuatan besar yang dikerahkan Pasukan Abrahah yang datang dengan maksud tak mulia di Bulan Muharram, penghujung Februari, 1440 tahun silam.
Peristiwa yang seakan-akan menjadi prolog hadirnya seorang penyelamat umat dan agama sempurna yang satu-satunya diridhoi Allah, islam. Ialah Nabi Muhammad SAW. Pria yang telah terbiasa hadapi cobaan atau memang ujian itulah yang membuat beliau bertambah kuat akan semua terpaan dalam kehidupan. Iman yang sempurna mengantarkan beliau pada laga peperangan untuk mempertahankan dienul islam tetap tegak, kokoh berdiri, seakan benteng yang berdiri melindungi siapa saja yang ada dibaliknya, dari apa pun marabahaya yang setiap detik siap mencekam tanpa tawar. Laga yang dipersembahkan Allah hanya untuk orang-orang tangguh, setia, sabar dan komitmen atas perjanjian

bersama-Nya, sebelum dilemparkan untuk bermain dengan nafsu dari setan di muka Bumi. Perjanjian yang telah tercatat indah oleh tinta emas permanen-Nya di dalam Lauhul Mahfudz dan takkan pernah menguap tersulut zaman. Lalu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah tangannya perbuat dan kemana kakinya melangkah.
Kehati-hatiannya dalam memijakkan tapak kaki, mampu menggoyah keberanian musuh yang siap menghadang dan membunuh karakter yang sudah terkompelasi dan terangkai sempurna indah di hati sahabat dan sanak saudaranya. Melalui kelok liku gurun pasir yang panas menyengat membakar legam tubuh gagahnya untuk menjelaskan pada seluruh pasukan, sebuah pesan bermakna untuk umat dan orang-orang yang mengaku nafsnya ada karena Allah. Sebuah pesan bahwa inilah bukti cintanya pada Robb yang mengasihinya, menyayanginya lewat nikmat cobaan yang tak henti hadir menyapa, menghadirkan kecemburuan pada langit yang diciptakan untuk terus bertasbih, mensucikan keagungan asma-Nya.
Lemah lembut yang menjadi tameng diri untuk jauh dari lembaran putih yang bisa saja tergores bercak hitam karena malu atas keyakinannya menyebarkan pemahaman mengenai Allah, pemilik hak satu-satunya untuk disembah, malaikat-malaikat yang hadir sebagai mata elang dengan catatan dan wewenang yang telah diperintahkan langsung dari Sang Maha Pemegang Jagat Raya Semesta, meyakini Al-Quran sebagai penyempurnaan dari kitab terdahulu, Zabur, Taurat dan Injil. Mempercayai bahwa Allah mengutus seseorang sebagai rasul untuk setiap golongan umat yang ada, untuk terus meyakini bahwa dunia tak lama lagi akan hancur tak berdaya, melenyapkan segala kebaikan dan keburukan yang terombang-ambing bagai kapas yang berterbangan karena angin, lalu untuk berpegang kuat atas keimanan terhadap Qada’ dan Qodar sebagai irama yang menyajikan lantunan kidung mesra dalam setiap episode drama kehidupan ini.

Berdiri menjulang dan terus berjaya hingga masa-masa kemenangan atas dakwah yang berhasil tersebar luas di seluruh antero bulatan Bumi yang senantiasa berotasi dan berevolusi atas kehendak Sang Pengatur semesta dan seisinya dalam nafas tasbihnya. Perjalanan hidup tidak lantas berjalan tanpa hadirnya aktor antagonis dalam potongan episode yang membawanya ke hadapan tantangan dan ancaman. Walau beliau tahu jalan ini berat untuk dilewati, badai itu susah untuk diterjang dan gunung-gunung itu akan sangat melelahkan untuk didaki hingga puncak, tapi pikiran itu sirna dengan cepat saat beliau sadar untuk belajar dari ketauhidan Nabi Ibrahim AS. Untuk sebuah mimpi membumikan islam dan menjadikan Al-Quran sebagai sahabat untuk hati yang telah lekat dengan maksiat atau terlalu muda untuk dikenalkan dengan kejamnya hantaman cobaan dalam hidup. Fitnah yang selalu menghantui dan menghujam keras bagai hujan deras yang jatuh karena evaporasi yang berlebihan dan siap membanjiri setiap rumah hunian sebagai pelindung diri.
Siang itu, kala matahari menampakkan kekuatan sumber cahaya untuk makhluk-makhluk Bumi dan memunculkan keberadaannya yang tinggi dan menyengat, bisa saja melumpuhkan semangat untuk bekerja. Tapi tidak untuk Aisyah, seorang pemudi tangguh yang tengah menuntut ilmu di perguruan tinggi di Jawa Tengah. Terus saja melenggang mantap dalam jalan dakwah yang harus tetap diperjuangkan. Atas nama Allah dan Nabi Muhammad tercinta, ia rela menantang hujan, menghadang panas, menembus angin yang terkadang menghembus kencang atau malah sedikit nakal karena terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Untuk meraih bahagianya di dunia akhirat atau sekedar menjalankan visinya sebagai khalifah di Bumi.
“Shodaqallahul’adziim...Alhamdulillah”, segera lah Aisyah bergegas melipat mukena kecilnya dengan rapi untuk kemudian dimasukkan dalam tas yang mulai sesak oleh buku perkuliahan. Mulai ia merapikan jilbab yang mulai kurang teratur sejak dikenakannya tadi pagi hingga siang yang terik hari Kamis, tengah Bulan Desember ini. Entah mengapa bulan yang semestinya masuk di musim penghujan, panasnya malah menandingi terik di bulan-bulan lain. Beberapa menit kemudian, ditatanya kitab kecil, mushaf yang tidak pernah lepas dari genggaman tangannya selepas sholat fardlu, dibawa kemana pun ia pergi, tak pernah lalai dicangking dalam tas gendong yang selalu menemani di mana pun aktivitasnya berlangsung.
Bisa saja siang ini ia tertidur pulas, melepas segala penat dan pusingnya kepala karena tugas yang membuntuti, tanpa terbebani amanah. Bisa saja ia tinggal di rumah, bersantai-santai ditemani sang waktu yang takkan menagih kewajiban. Bisa saja mulut berkata enggan untuk satu kepercayaan berat yang telah diberikan. Bisa saja untaian alasan terucap dikala tenaganya dibutuhkan oleh teman-temannya dalam organisasi. Toh, orang tuanya di desa takkan jadi marah karena tuntutan mereka hanyalah akademik semata. Namun kekuatan untuk berjalan di jalan terang ini, cukup jadi alasan untuk mencetak pribadi yang berbeda dari yang lain. Membuat suatu gebrakan bersama membangun benteng yang kokoh dengan teman-teman seperjuanagn sebagai bukti keteladanannya dari Rasulullah saat merubah cara dakwahnya menjadi terang-terangan di tanah Madinah. Bersama para sahabat bergandengan tangan menyusuri jalan sambil menyerukan kedamaian islam dengan lantang penuh keyakinan. Cara yang mampu meruntuhkan semangat musuh.
Karena inilah, Aisyah tetap berjuang untuk pergi ke kampus mengikuti syuro, membahas agenda Ahad, pekan depan. Dengan motor buntut peninggalan almarhum ayahnya, yang catnya mulai pudar termakan usia, ia melaju pelan dari kamar kos yang mungil melalui jalan setapak, Gang Mayora di belakang kampus, tempat ia menuntut ilmu. Waktu menunjukkan 15 menit sebelum agenda syuro disepakati untuk dimulai. Aisyah memang selalu membiasakan dirinya datang sebelum acara dimulai. Ia tidak ingin menzalimi waktu teman-temannya yang rela menunggu kedatangannya dalam forum syuro, kecuali karena alasan berbarengan dengan jadwal kuliah.
Setengah jam berlalu dalam forum. Telah disepakati berbagai rancangan agenda dan kepanitiaan acara training ESQ pekan depan, yang menjadi satu dari seabreg rangkaian acara muktamar kesatuan keluarga mahasiswa muslim di fakultasnya. Aisyah memang lebih memfokuskan diri pada agenda yang membawa nama islam, walau sebenarnya ia juga memegang peran dalam agenda lain yang menuntut loyalitas sama besar.
Letih rasanya tubuhnya melayani setumpuk agendanya hari ini. Hari mulai memerah. Senja akan segera menyapa. Aisyah memutuskan untuk segera kembali ke kos dan mengerjakan beberapa hal yang harus diselesaikan malam ini juga terkait acara training ESQ yang rencananya akan mendatangkan para trainer pilihan yang jam terbangnya sudah tinggi. Segeralah ia keluar wilayah kampus Fakultas Psikologi dan memulai perjalanan senja di jalan Korea, begitulah kebanyakan mahasiswa menyebutnya. Jalan yang dibatasi oleh pepohonan rindang yang di sela-sela terdapat pula cemara ........................., menyihir jalan yang mungkin aslinya biasa saja, berubah menjadi lebih bermakna keindahannya.
* * *
Pagi menjelang, mentari tetap ceria menatap dunia. Afirmasi positif selalu ditanamkan Aisyah setiap pagi walau banyak tugas menanti untuk segera digarap. Tahun ini, tahun ke-4 ia kuliah. Ibunya di kampung mewanti-wanti agar studinya segera diselesaikan, sebelum masuk tahun ke-5. Belajar menjadi psikolog memang tak sesulit mendalami ilmu teknik atau kedokteran yang butuh waktu khusus untuk praktik. Ia sadar amanahnya tidak hanya di organisasi, namun harapan ibu dan adik-adiknya jauh lebih penting dari apa pun yang ada di hadapannya sekarang. Namun dalam benaknya sekarang adalah umat di sini. Tempatnya menuntut ilmu lebih membutuhkan keberadaannya, dibanding dengan keluarga yang setia menunggu keberhasilannya di akademik. Kesibukannya di beberapa organisasi dan komunitas, baik intra maupun ekstra kampus tak lantas menjadikan indeks prestasinya di bawah rata-rata, bahkan kabarnya tahun ini ia akan dicalonkan menjadi mahasiswa teladan tingkat universitas. Semua tersusun rapi karena Aisyah punya target kapan ia harus lulus studi.
Ia awali cerahnya Jumat ini dengan menyelesaikan segala persiapan menjelang agenda terdekat. Kebetulan hari ini ia kuliah siang, jadi tak masalah ia agak memanjakan diri di depan laptop ditemani hangatnya teh tawar dan alunan nasyid kesukaannya. Jarinya yang terampil sepuluh jari menuliskan rundown yang sudah disepakati dan disusun dalam beberapa tabel, barangkali dalam 30 atau 45 menit lagi akan segera selesai. Kepiawaiannya dalam mengorganisir sebuah event telah terlatih sejak ia aktif di banyak organisasi semasa SMA di Blitar dulu. Jadi bukan suatu yang berat kalau disuruh merancang acara untuk 1 hari saja.
Waktu telah mengisyaratkan tubuhnya segera beranjak dari hadapan laptop dan bersiap diri menyongsong suapan materi dari dosen. Hari ini, Aisyah kuliah ................................ Dosen yang berpengalaman dan lulusan terbaik dari universitas ternama di Australia itu, mendorong semangat Aisyah memperjuangkan nama baiknya di hadapan birokrasi fakultas dengan keunggulan IPK yang melekat di dirinya. Seusai menunaikan kewajibannya menuntut ilmu, agendanya beralih ke gedung sebelah. Teman-teman telah menunggu kehadirannya. Ia mulai memaparkan petunjuk pelaksanaan agenda di hadapan panitia lain. Ada perbaikan di beberapa bagian. Penambahan estimasi waktu untuk ustadz di materi pertama sepertinya menjadi masukan yang patut diperhitungkan. Ide untuk menyisipkan ice breaking di sela ishoma siang dan materi ketiga agaknya menjadi masukan cemerlang menciptakan suasana agenda training ES Q pekan depan tidak membosankan dan menghilangkan kesan monoton.
Seperti biasa, dalam sehari, hampir ¾ waktunya diabdikan demi kelancaran agenda-agenda dakwah. Ia tak tahu pasti apa yang mendorongnya selalu antusias dengan aktivitasnya 4 tahun terakhir. Selepas sholat Ashar di musola kampus yang masih saja berjejal mahasiswa, Aisyah berniat bersilaturahim ke rumah tantenya yang tinggal 6 km dari kampusnya. Segera ia mempercepat langkah menuju tempat parkir sebelum mendung sore itu menyampaikan pesan hujan untuk Bumi. Menghidupkan motor lalu melaju mengambil arah timur menuju desa tantenya. Aisyah sengaja tak membawa apa-apa karena ia tahu keadaan ekonomi tantenya jauh di atas melebihi kondisi keuangan keluarganya di kampung. Kedatangannya disambut hangat penuh ceria oleh keponakannya yang masih berumur 5 tahun. Berhamburlah pelukan diantara keduanya, yang disatukan oleh pertalian persaudaraan.
Tak seperti biasa, wajah Tante Rani tak seramah sebelumnya. Tatapan beliau kali ini lebih bermakna ada sesuatu yang tersembunyi dan telah lama terpendam, ditutupi, dirahasiakan rapat-rapat.
“Nduk, pie kabare cah ayu? Lancar to kuliahmu?” 1), sapa Tante Rani pada Aisyah.
“Nggih Bulik, alhamdulillah sae-sae lan lancar kuliah kula. Bulik pripun?” 2)
Perbincangan mengalir begitu saja, hingga Tante Rani menemukan waktu yang tepat, meminta Aisyah duduk dekat, lekat padanya.
1) “Bagaimana kabarnya cah ayu? Lancar kan kuliahmu?”
2) “Iya Tante, alhamdulillah baik dan lancar kuliah saya. Bagaimana dengan Tante?”
“Sebenarnya tante mau menceritakan sesuatu padamu, nduk”, Tante Rani mengawali obrolannya senja itu.
“Masalah apa Tante? Jadi serius begini?”, sahut Aisyah.
“Sesuatu yang belum kau ketahui hingga sekarang. Yang jika kau tahu, mungkin kau tak mempercayainya,” kata Tante Rani.
“Tante sukanya bikin Aisyah penasaran nih. Langsung ngomong aja Tante, kayak aku ini siapa aja?”, canda Aisyah.
“Karena inilah saatnya. Tante harap setelah mendengar cerita Tante, kamu bisa terima apa adanya. Ga boleh marah atau kecewa. Tante yakin, Aisyah udah dewasa, menerima informasi dengan pemikiran yang rasional. Apalagi sekarang hampir jadi S.Psi yang pasti bisa mengatasi trauma effect, kan?”
“Insya Allah, Aisyah bisa denger tanpa emosi tante. Apapun berita itu akan Aisyah terima apa adanya tanpa kecewa ataupun kebencian,” janji Aisyah.
Suasana masih kurang mendukung untuk suatu perbincangan yang serius. Caca, anak Tante Rani terlalu berisik bermain. Dengan lemah lembut, beliau menyuruh Caca bermain di ruang tengah. Tanpa melawan, Caca langsung membawa serta boneka pandanya ke ruang keluarga.
“Tante bingung sebenarnya mulai cerita dari mana, nduk.”
Aisyah mencoba membaca, memahami isi hati Tante Rani. Kalimat itu mengisyaratkan bahwa tantenya akan membuka suatu tabir kehidupan yang panjang. Akankah itu tentang perjalanan hidupnya selama ini. Kalau pun bukan, kenapa se-serius ini. Tante Rani secara kebetulan bercerita di saat dirinya datang untuk bersilaturahim. Karena entah mengapa hatinya selalu terdorong untuk hadir bertemu tantenya, bagai sutera lembut tanpa tuan bergerak lantaran angin.
“Sebenarnya ada rahasia antara tante, kau, dan seseorang yang hingga sekarang kau anggap ibu kandungmu di Blitar, nak.”
“Maksud Tante dengan Seseorang yang kuanggap ibu kandung? Aisyah kurang paham, Tante.”
“Iya. Karena dibalik kepura-puraan kami selama ini, ada satu rahasia besar yang tante percaya tak pernah kau sangka. Suatu yang ada bukan untuk menyakiti salah satu diantara kita. Rahasia yang menurut tante, jika disimpan terlalu lama, tante tak sempat lagi membukakannya untukmu, nak. Semua ini karena tante sayang sekali padamu, Aisyah.”
“Tante, asal tante tahu, Aisyah merinding dengernya. Kalau penjelasan tante nanti sangat dekat sangkut pautnya denganku, baik itu buruk sekali pun, Aisyah yakin itu untuk kebaikanku. Ayolah tan, jangan membuat rasa penasaranku ini semakin menggunung,”pinta Aisyah.
“Baiklah, Nak. Sesungguhnya kau adalah anak kandung Tante.”
“Maksud Tante, Aisyah sudah dianggap sebagai anak kandung Tante, kan?”
“Bukan sekedar anggapan, Nak. Kau adalah anak yang terlahir dari rahim tante. Tantelah yang merawatmu hingga kau akan memasuki gerbang sekolah dasar. Ingat kan waktu itu kau pindah dari Semarang ke Blitar bersama Ibu Sarah? Saat itu tante sangat sedih. Hati Tante memberontak, berkata tidak, menerima kenyataan bahwa kau takkan lagi bersama Tante hingga dewasa. Namun rasa iba tante mengalahkan segala perasaan egois. Kakak Tante, Ibu Sarah telah menikah 5 tahun lebih dulu dibanding Tante. Allah belum memberinya karunia seorang putra. Orang Jawa zaman dulu percaya kau bisa jadi pancingan lahirnya seorang putra di tengah keluarga Ibu Sarah. Beliau meminta tante, memohon untuk mengangkatmu menjadi putrinya. Dan akhirnya kau tahu, 4 tahun setelah kau berada dalam kasih sayang mereka, lahirlah Deni, anak kandung Ibu Sarah yang pertama, dan sekarang jadi adikmu.
Tante tahu kau pasti tak percaya dengan apa yang telah Tante katakan barusan. Tante senang sekali ketika ada kabar kau akan menuntut ilmu di perguruan tinggi di Semarang, itu artinya Tante akan lebih sering bertemu denganmu, Nak.”
Tangis Aisyah mulai jatuh di kedua pipinya yang putih bersih. Air mata tak mampu lagi disimpan. Semua keluar tanpa perintah. Isaknya seakan menantang mentalnya untuk tetap tegar, menghadapi kenyataan bahwa ibu yang selama ini sangat perhatian bahkan melebihi perhatiannya pada dirinya sendiri. Ibu yang tak pernah absen mengingatkan untuk teratur makan 3x sehari, apapun kondisinya, yang selalu telepon tiap 2 hari sekali untuk sekedar menanyakan kesehatan dan kuliah. Orang yang pertama kali akan siap menjadi pelindungnya dari bahaya. Ibu yang sedia setiap waktu menerima keluh kesah tentang kisah hidupnya, termasuk ketika ia gagal masuk final dalam kompetisi musabaqoh tilawatil quran tahun lalu. Walau pertemuan mereka jarang, bahkan belum tentu tiap liburan semester Aisyah pulang, apalagi sekedar pulang di hari Sabtu atau Ahad. Tapi seakan-akan kerinduanlah yang mempertemukan hati-hati mereka dalam bincang-bincang kecil yang hadir layaknya mutiara di dasar lautan.
Mata cantiknya mulai sembab, memerah tanpa disadari olehnya. Hidupnya bagai dihantam badai kuat, menjatuhkan dirinya di sebuah tempat kosong yang memaksanya untuk berteriak sekeras-kerasnya. Rasa sedihnya mulai membesar bagai bola salju yang berputar dan semakin lama semakin kuat. Hatinya remuk bersamaan dengan guntur yang terdengar lantang mengiringi turunnya guyuran hujan yang ternyata sejak tadi telah mengintip, mengendap diam-diam menjadi saksi bisu sebuah kenyataan yang datang dari mulut Tante Rani. Derasnya hujan yang membasahi tanah Bumi bagai alunan lagu sendu pada klimaks kesedihan Aisyah senja menjelang malam, Jumat itu.
Tante Rani mulai memeluk tubuh mungil Aisyah yang jadi sedikit rapuh, lemas menghadapi ujian berat dihidupnya. Pelukan itu kini kian menghangat. Pelan-pelan, menderu kepastian, meruntuhkan membran tebal pemisah jiwa yang sekian lama termakan rahasia. Kini hilanglah sudah pembatas itu. Yang ada adalah sebuah ungkapan kenyataan yang memberitakan Aisyah adalah putri kandung Tante Rani. Aisyah terlibat konflik dengan batinnya sendiri. Kisah yang terungkap malam itu terus berlanjut, perlahan dan meyakinkan Aisyah bahwa kasih sayang keduanya begitu besar. Memori otaknya mulai memutarkan cerita panjang perjalanan penuh liku bersama Ibu Sarah di Blitar. Hidup berempat bersama ibu dan kedua adiknya adalah kenangan penuh perjuangan. Zona yang membuat kerja kerasnya muncul dan semakin luar biasa. Biarlah orang lain mencibir usaha yang dianggap kampungan, namun ia anggap hal itu hanyalah lubang kecil, ranjau yang mudah untuk dilompati. Bukan bermaksud untuk menghindar, namun menentang dengan lembut dalam kesembunyian bagi dirinya sendiri. Karena ia sadar hidup tak hanya untuk menyesali omongan orang.
Ia tak mau kesedihannya berhasil menjatuhkan keinginan dan target hidupnya. Ini hanya sebuah kenyataan, sebuah kado istimewa dari Allah. Ia tak mau menjadi lemah, setelah Allah berfirman wanita itu bisa tegar sekuat baja. Ia tak boleh lengah dan merasa kecil, setelah Allah memilih dan menciptakan manusia dalam keadaan paling sempurna di antara makhluk-Nya yang lain. Kesetiaannya dalam jalan yang terlanjur dipilih untuk diselesaikan terlalu berharga untuk ditinggalkan. Tak ada artinya ia harus terhenti. Pangkalnya sudah terlewat jauh dan ujungnya masih belum terlihat. Ia tahu kabar ini bukan cobaan, tapi jadi ladang rahmat baginya, asal ia mampu ikhlas menerima. Inilah dimana bukti kesetiaannya diuji oleh Allah.
Aisyah berterima kasih pada Tante Rani. Tawaran untuk tinggal semalam di rumah Ibu kandungnya terpaksa ditolak dengan segan. Ia butuh waktu untuk sendiri. Bukan untuk memikirkan kenyataan dalam rangka mematahkan semangat, justru untuk membangkitkan Aisyah yang siap hadapi masalah. Hatinya mulai tertata setelah ia sampai pada kesunyian di dalam ruangan 3x4, tempat ia tinggal selama ini. Ponselnya berbunyi, menandakan seseorang memanggil. Rupanya dari Ibu Sarah. Ia menghela nafas dalam-dalam, meniupkan perlahan dan panjang. Lalu menjawab panggilan Ibu Sarah.
“Assalamu’alaikum, Ibu...”, sahut Aisyah
“Wa’alaikumsalam, nduk. Pripun sehat to?”
Ya, itulah yang selalu ditanyakan Ibu Sarah. Aisyah mulai meneteskan airmata pilunya. Agaknya perasaan galau yang sempat menghampirinya tadi, terulang kembali.
Ibu Sarah belum tahu bahwa kenyataan itu telah terbongkar. Nampaknya Aisyah pun masih enggan bertanya pada Ibu Sarah karena ia takut Ibu Sarah belum bisa pula menerima. Tak terasa perbincangan berlalu 15 menit. Tak sedikit pun Aisyah menyinggung rahasia itu, hingga obrolan diantara keduanya terhenti sekali pun. Telepon ditutup. Aisyah mulai menutup matanya untuk menyelami naungan malam, ditemani gerimis yang bernyanyi. Entah kapan ia akan menengahi semuanya, ia pun tak tahu. Ia mencoba akan tetap tegar menyembunyikan masalahnya, karena umat takkan peduli beban apa di balik keteguhan pribadinya. Ia simpan dalam-dalam rahasia itu. Ia kuatkkan jiwa dan pikirannya untuk menatap masa yang akan jadi miliknya dalam kesuksesan kelak. Ia yakin takkan sendiri dalam jalan kebenaran ini. Aisyah takkan berhenti berdakwah. Ia tahu ini sulit dan melelahkan, tapi surga Allah itu pasti.
* The End *
Karya oleh : Yuniva Tri Lestari
>>Jl. Prof Soedarto Gang Siwungu No.1 Rt2 Rw 2, wisma Mariyah Al-Qibtiyah Rumah Prestasi Indonesia, Tembalang, Semarang, Jateng.

dilombakan dalam http://maribershalawat.multiply.com

0 Comment: