Jumat, 26 November 2010

cinta suci itu membawanya pada perubahan

Harmoni cinta mencuat dalam jiwa remaja seluruh penjuru negeri. Ketidakstabilan managemen hati menjadi alasan fundamental masih banyaknya kejadian “zina massal” layaknya kejadian luar biasa di daerah endemik demam berdarah. Dibutuhkan “tenaga medis” untuk mengobati jiwa-jiwa sakit yang lapar akan muhasabah kasih sayang yang sesungguhnya. Diperlukan persediaan “asupan gizi” bagi hati yang rusak, terganggu kinerjanya karena maksiat. Namun kesemuanya itu belum ada tanda-tanda akan hadir dalam ruang lingkup relung jiwa remaja kebanyakan. Jika ada pastilah menjadi minoritas. Seperti halnya yang baik-baik itu pasti menjelma menjadi komunitas terpencil, seperti islam yang datangnya terasingkan dan pergi pun dalam keadaan asing pula. Begitulah pengabdosian filosofi sebenarnya yang sudah dijamin oleh Sang Pencipta alam raya, Allah SWT dalam firman agung-Nya yang penuh dengan bahasa sastra Arab tinggi, kitab-Nya yang suci, Al-Qur’an yang Karim.
Di lembar-lembar sejarah yang bertutur banyak tentang cinta dalam catatan islam, mustahil orang-orang terpilih dan dijamin masuk surga memiliki kisah cinta yang banyak dikatakan “mesra” atau cinta penuh syahwat. Tidak pernah kita mengenal Rasulullah SAW memalingkan niatnya untuk menikah kecuali hanya karena Allah. Setidaknya inilah fakta yang terjadi dan terbukti. Seampuh-ampuhnya cinta karena syahwat tidak akan bisa melampaui indahnya cinta karena Allah sebatas pandangan manusia. Virus-virus yang mengancam sistem imunitas tubuh remaja belum didapatkan pengobatan yang jitu dan menyeluruh, hingga kekebalan itu abadi, takkan hilang kapan pun, di mana pun, oleh siapa pun, dan dengan siapa pun. Terlepas dari sifat dasar manusia yang ingin saling memiliki dan memang telah diciptakan berpasang-pasangan, terkadang cinta disalah artikan oleh kebanyakan remaja.
Siapa sih remaja itu?

Dialah Tiwi, seorang gadis asli Bontang, Kalimantan Timur yang kebetulan juga satu wisma dengan penulis, yang mulai menapaki kehidupannya yang baru untuk mengerti apakah cinta itu, bagaimana memainkannya tanpa membawa bara menyala, tetap aman dalam pandangan manusia, apalagi dalam urusan dengan Allah yang Khalik. Tak pandai memang manusia untuk bersyukur, meresapi kalimat “alhamdulillah hirobbil ‘alamin” dalam setiap detik yang melewati sisa kehidupannya, sungguh manusia hidup dalam keadaan yang merugi. Waktu memang tak bisa berputar dan menghampiri arah kita berjalan. Teringat kata-katanya “Huh aku langsung putusin pacarku, saat itu juga!!”
Keputusan yang dirasanya berat untuk direalisasikan, berubah menjadi cambuk api keberanian yang tak terkalahkan oleh guyuran air apa pun di muka Bumi ini. Tanpa berpikir lebih jauh dan sebelum syetan itu datang mengetahui maksud mulianya, merasuk dan menyelinap signal positif dalam otaknya, langsung saja dia meyakinkan dirinya untuk mengakhiri semuanya, dan memulai afirmasi positif baru untuk masa depan yang lebih menjanjikan. Semua itu terjadi sejak memori ingatannya memutarkan kembali sepenggal simphony kata-kata luar biasa :
“Akhi, rasanya aku telah menemukan kekasih yang jauh lebih baik darimu. Yang Tak pernah Mengantuk dan Tak Pernah Tidur. Yang siap terus menerus Memperhatikan dan Mengurusku. Yang selalu bersedia berduaan di sepertiga terakhir malam. Yang siap Memberi apapun yang kupinta. Ia yang Bertahta, Berkuasa, dan Memiliki Segalanya.
Maaf akhi, tapi menurutku kau bukan apa-apa dibanding Dia. Kau sangat lemah, kecil, dan kerdil di hadapanNya. Ia berbuat apa saja sekehendakNya kepadamu. Dan, akhi, aku khawatir apa yang telah kita lakukan selama ini membuatNya cemburu. Aku takut, hubungan kita selama ini membuatNya murka, padahal Ia, maha Kuat, Maha Gagah, Maha Perkasa, Maha Keras SiksaNya”.
Bagian inilah, sebuah penggalan surat dalam buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, karya Salim A. Fillah, yang memberikan kekuatan penuh, bak horse power yang muncul begitu saja lantaran keyakinan dan keinginan yang menggebu untuk dijadikannya NYATA pada dirinya dan “pacarnya”, saat itu. Masa-masa akhir SMA, ketika kata perpisahan akan menjadi hal yang pasti terjadi dan sudah ada di depan mata, ingin rasanya melepas dan mencurahkan segala isi hati yang kian lama terpendam di antara 2 insan.
Hal utama yang mendorong kekuatan ajaib itu adalah karena pacaran HANYA membuat mereka menjadi pacar yang baik, BUKAN menjadi istri yang baik. Apalah artinya pacaran yang cenderung hidup semaunya, di mukanya bilang sehati, seperasaan, tapi nyatanya tetap elo-elo, gue-gue. Bayangkan jika benar-benar sudah terikat oleh jalinan suci, penuh barokah, setiap kemesraan menjadi ibadah, bukan dosa, sungguh begitu indahnya cinta karena Allah. Ternyata lebih jauh lagi meresapi kata-kata itu, semakin menggunung saja keinginannya untuk segera menyudahi hubungan haram bersama pacarnya. Tak tanggung-tanggung, foto-foto bersama mantan pacarnya itu semuanya dibuang, dihapus tanpa tilas. Yang ada di handphone, yang masih tersimpan di laptop, atau foto cetak. Begitu menyesalnya dia sejak saat itu. Sehari setelah Tiwi menyelami kata-kata Salim A.Fillah yang begitu indah dan ringan, ia gerakkan kaki dan tangannya untuk bergegas mengambil laptopnya, menuliskan keputusan dengan ketegasan dan kepercayaan diri untuk berani mengambil langkah yang pasti akan banyak cercaan dari teman-teman se-SMA nya di YPK (Yayasan Pupuk Kaltim) dulu. Tapi semua itu akan segera hilang karena keyakinannya hanya pada Allah semua akan kembali, dan keputusan itu hanya ia tujukan benar-benar karena Allah, dan sebenarnya ia malu dengan kakaknya yang juga aktivis dakwah kampus di Polines (Politeknik Negeri Semarang).
Syaraf otaknya mulai memerintahkan simpul-simpul saraf eferen hingga sel motorik jari-jemarinya mulai menari-nari di atas keyboard merangkai huruf menjadi kata, menyusun kata-kata hingga tercipta kalimat pemenuh bait dalam surat untuk pacarnya yang menegaskan mengakhirkan semua ini. Ia lanjutkan langkah nyata. Isi surat ia cantumkan komitmennya menjadi pribadi yang lebih baik. Memperbaiki diri dari segala aspek baik akademik, birul walidain, dan yang paling utama adalah agama. Ia pesankan pula secara langsung dan tegas toh pacaran belum tentu bisa menikah, apalagi banyak mudharatnya, tak ada guna, buang-buang biaya, terutama terkuras habis untuk pulsa. Begitulah caranya meyakinkan pacarnya, dengan kata-kata lembut tanpa menyindir atau bermaksud menyakiti hati, bukan sama sekali tak ada niat untuk itu. Bahkan semoga dengan surat itu, bisa membawa pacarnya berpikir panjang dan terinfeksi berkeinginan merubah hidupnya. Bukankah kebaikan yang dilakukan bersama-sama akan lebih besar kekuatannya. Surat itu segera dikirimnya lewat e-mail. Tak mempan lagi syetan mencegahnya, terlanjur pikirannya terasuki oleh keinginannya kembali pada Allah, pasrah pada-Nya seutuh-utuhnya sebagai seorang muslimah. Tepat pada Ramadhan 1431 Hijriyah tahun ini kali pertamanya ia merasa bersalah dengan pacarnya. Tiwi tak bersedia lagi ibadahnya dalam nikmatnya puasa dan bersedekah di bulan suci terenggut sia-sia habis hanya karena hal sepele tak ada gunanya semacam ini. Sirna sudah semua kata “sayang-sayang” dalam cengkerama telepon atau sekedar SMS.
Permainan gerilyanya pacaran dari orang tuanya berhasil diakhiri dengan bijak dan penuh tanggung jawab serta komitmen. Ia sanggup menyatakan hal serupa pada dirinya, menancapkan tanda bendera STOP untuk melakukan hal serupa, dan mulai mengibarkan bendera kemenangan minimal untuk dirinya dengan hubungan dimensi vertikal pada Allah ataupun menggali lebih dalam, sedalam-dalamnya segala potensi pada dirinya sebagai nikmat luar biasa dari Al-Aliy, Allah SWT dan mengembangkan ke arah yang lebih bermanfaat dan membawa dirinya menjadi insan yang berma’rifat baik pada Allah atau dengan sesama makhluk Allah. Awalnya ia mengira bahwa pasti pacarnya akan marah sejadi-jadinya dan tidak mau terima atas apa yang telah ia nyatakan dengan jelas. Tapi kenyataan berbicara lain, keberuntungan berpihak padanya atau lebih tepatnya Allah memudahkan jalannya mendapatkan hidayah.
Langkah awal yang bagus, pikirnya. Fokus dalam ibadah dan kuliah adalah buah kesuksesannya meninggalkan segala yang membuatnya terlena akan keindahan dunia. Mau tak mau, kerinduannya pada ayah dan ibu yang berada jauh di Kalimantan Timur sana, harus terbayar dengan tingginya IPK dan keaktifannya dalam organisasi, tak mau lagi Tiwi membuat kecewa kedua orang tuanya, melihat wajah keduanya bersedih, yang selama ini memberikannya amanah yang begitu besar, mempercayakan segalanya di pundaknya yang terkadang dengan mudah bisa rapuh. Jangan sampai ia bertingkah dan belajar dengan awur-awuran. Tak mau lagi ia mengulang perbuatan bodoh tanpa membawa kebanggaan. Seakan tak mampu baginya membayangkan betapa sedihnya bila orang tuanya, yang kuat dalam agama tahu bahwa ia pernah pacaran. Teringat lagi dalam putaran kisah masa lalu, ketika ia dilahirkan ke dunia ini. Ialah harapan tinggi bagi kedua orangtuanya, didoakan agar menjadi anak yang sholehah, berguna bagi bangsa, negara dan masa depan. Terlahir mungil dan suci dalam lantunan adzan dan iqomah dalam suasana hangat, haru, dan bahagia memiliki putri yang manis dan cantik sepertinya.
Lambat laun ia mulai paham esensi yang lebih tajam mengenai makna pacaran, yang sebenarnya. Dalam islam tak ada istilah itu. Ta’aruf adalah kunci segalanya. Arti dan maksudnya sudah jelas dan syar’i. Jadi ia tegaskan dalam qalbunya sendiri bahwa kata PACARAN dalam kamusnya telah sukses terhapus. Takkan lagi ia membawa si syahwat menemani liku perjalanannya yang penuh ranjau dan duri. Meracuni pikiran dan otaknya dalam konsentrasinya mendengarkan sang dosen memberi materi di perkuliahan. Menghancurkan cita-cita indah dan seribu target yang telah ia tancapkan kokoh dalam selembar kertas impiannya. Merusak ukhuwah indah dalam naungan silaturahim yang agung dengan saudara-saudara yang senantiasa saling menasihati dalam kebaikan.
Tiwi mengerti maksud dari semua ini. Mustahil rasanya jika ia tidak diberi peristiwa semacam ini, ia memiliki kekuatan yang sungguh hebat untuk menyadarkan dirinya jauh dari segala syahwat berhubungan dengan lawan jenis. Sungguh inilah nikmat Allah yang tak terduga. Yang dianggap buruk untuk kita, namun dibalik itu semua terselip hikmah dan pesan yang begitu indah. Inilah bingkisan termahal dari Allah yang tidak semua insan bisa mengalaminya.
Hingga di kota rantau Semarang ini, ia awali kehidupan barunya dalam balutan islami. Seleksi kawan dan tempat tinggal adalah faktor utama kelancaran dalam meluruskan niat keluar dari rantai gajah yang sudah menjeratnya sekian tahun dalam stagnasi tanpa karya dan pribadi yang berkembang dan tumbuh baik. Ia tapakki hari-harinya dengan mulai serius dalam belajar. Berkumpul dengan orang-orang yang antusias dan semangat memegang kuat impiannya. Orang-orang yang memotivasinya, terutama dalam hal enterpreneur, bidang yang sangat ia minati. Rasanya disanalah jiwanya berkembang dan ingin mulai meniti langkah baru untuk menjadi mahasiswi wirausaha. Bukan hanya itu, ia mulai aktif di keorganisasian fakultas yang ia yakini akan menjadikannya kreatif dan berpikir kritis, tidak lagi memikirkan hal-hal sepele dan ringan tentang cinta dalam pacaran seperti sedia kala.
Ia berharap lebih jauh untuk mendobrak dunia dengan karyanya, setidaknya dengan prestasinya dalam bidang kesehatan atau keahliannya meracik coklat dan tepung dan dari tangannya tercipta sebuah cita rasa luar biasa dalam bentuk kue. Apapun jadinya nanti, ia sanggup menjadi orang sukses. Dengan jalan yang sudah ia pilih menjadi prinsip dalam hidupnya. Yang sesuai dengan kontrak dan janjinya dengan Allah di dunia arwah terdahulu. Ia takkan lupa kesepakatannya dengan Allah yang sudah tergaris tanpa tawar di lauhul mahfudz. Semoga Allah meridhoi langkah pembaharuannya. Amin.

0 Comment: